
Sebuah pembuka Satria Dewa Universe yang apik dan cukup memuaskan. Dipenuhi dengan fighting scene dan dibalut dengan konflik yang meluas, film “Gatotkaca” layak diberi atensi yang lebih.

Sama seperti judulnya, film “Gatotkaca” mengisahkan Yuda, seorang pemuda yang hidup berdampingan dengan kentalnya sejarah dan budaya Jawa. Tak ia sangka, ternyata dirinya bukan sembarang pemuda. Bersama kawan-kawannya, ia berusaha mengungkap jati dirinya yang terpendam, sekaligus menelusuri kebenaran dari kisah Pandawa dan Kurawa.

Kisah Gatotkaca, Pandawa, dan Kurawa merupakan salah satu sejarah dan budaya Jawa yang membuat pondasi cerita film ini terbilang cukup kuat dan menjanjikan. Meskipun tidak semua orang awam tentang kisah tersebut, Hanung Bramantyo sebagai sutradara berhasil menyampaikannya dengan ilustrasi yang mudah dimengerti. Hanya saja, cerita di beberapa bagian film terasa padat dan ditayangkan dengan pace yang cukup cepat sehingga mata penonton harus tetap tertuju pada layar.

Tak hanya unggul dari segi cerita, “Gatotkaca” juga unggul dari segi casting. Para casts bersinar dengan porsi yang pas dan tidak saling tumpang tindih. Salah satu karakter selain Yuda (Rizky Nazar) yang mencuri perhatian para penonton adalah Gege (Ali Fikry), adik dari Dananjaya (Omar Daniel) yang cakap perihal teknologi dan tingkahnya kerap kali mengundang gelak tawa. Biarpun sukses dalam hal casting, dialog yang ditampilkan di beberapa bagian terdengar agak kaku dan cringe, sehingga adegan-adegan yang seharusnya nampak serius menjadi sedikit lucu dan kurang mencekam.

Tentu saja, tak lengkap rasanya bila film superhero tidak diselingi dengan aksi adu kekuatan dan saling melakukan perlawanan. Film “Gatotkaca” mempersembahkan sajian aksi yang cukup menegangkan dan sesekali membuat penonton menggigit jari. Kehadiran Beceng (Yayan Ruhian) membuat suguhan aksi film “Gatotkaca” semakin sempurna dengan teknik bela dirinya yang patut diacungi jempol.

Aspek lain dari film “Gatotkaca” yang tak luput dari sorotan para penikmat seni adalah CGI, color tone, dan product placement. Kendati belum dapat disamaratakan dengan CGI film barat, CGI film “Gatotkaca” telah mengalami perkembangan bila dibandingkan dengan CGI film Indonesia sebelumnya. Kemudian, penggunaan warm tone yang kurang konsisten memberikan kesan jadul yang ‘nanggung’. Ditambah lagi, product placement yang kurang ‘halus’ menyebabkan beberapa adegan nampak jelas seperti ‘iklan’ yang cukup mengganggu.

Apakah film ini layak untuk ditonton?
Cukup layak! Secara keseluruhan, film ini menjadi angin segar untuk film-film Satria Dewa Universe selanjutnya. Film “Gatotkaca” patut diapresiasi dan diberi kesempatan.
Rate: “Saatnya mengangkasa!” / 10