Haji menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ibadah rukun islam yang ke lima yang harus dilakukan oleh orang Islam yang mampu dengan berziarah ke Kakbah pada bulan Haji (Zulhijah) dan mengerjakan amalan haji seperti ihram, tawaf, sai, tahalul dan wukuf di Padang Arafah (kbbi.kemdikbud.go.id/entri/haji, akses 7 Agustus 2019). Kata mampu dalam konteks pemaknaan haji adalah bagi orang-orang yang benar-benar siap dalam pelaksanaannya, baik dari segi materi, fisik ataupun kesiapan rohani. Selama ini kesiapan materi dipandang sebagai prioritas utama dalam pelaksanaan ibadah haji, akan tetapi tanpa ditunjang kesiapan jasmani dan rohani, maka dapat dipastikan mengalami berbagai hambatan. Hal ini dikarenakan perlu persiapan secara khusus selama perjalanan dan prosesi pelaksanaan ibadah ketika di tanah suci.
Azyumardi Azra menuliskan bahwa perjalanan ke Mekkah, khususnya untuk menunaikan ibadah haji (pilgrimage), lebih dari sekedar ‘perjalanan fisik; tetapi juga perjalanan spiritual. Sejak masa persiapan melakukan pilgrimage, para jamaah mengalami peningkatan rasa kejamaahan (comunitas) untuk selanjutnya mencapai tingkat ‘liminality’ yaitu transisi keruhanian lebih tinggi begitu menyelesaikan seluruh rangkaian ritual, dalam hal ini ibadah haji dan berhak menyandang gelar ‘haji’ atau ‘hajjah’ (Majid, 2008). Penyandang gelar haji atau hajjah era sebelum ditemukannya transportasi udara adalah sandangan yang membutuhkan perjuangan yang keras. Pasalnya perjalanan ibadah haji menuai berbagai hambatan dan rintangan, selama proses perjalanan menuju ke kota Mekkah.
Pada era kolonial perjalanan ibadah haji menggunakan transportasi berupa kapal, sehingga perlu waktu berbulan-bulan untuk mencapai kota Mekkah. Pada abad 18 merupakan era kebangkitan dengan ditemukannya berbagai teknologi menyusul adanya revolusi industri yang terjadi di Eropa. Penemuan mesin uap oleh James Watt menjelang akhir abad ke-18, kemudian diterapkan oleh Robert Fulton untuk menggerakkan sarana angkutan air. Hal inilah yang kemudian menandai semakin maraknya penggunaan transportasi laut yang sebelumnya menggunakan layar, kemudian beralih dengan penggunaan mesin uap. Maraknya tenaga mesin uap dijadikan sebagai sarana pada transportasi laut terutama dalam mengangkut masyarakat muslim untuk menunaikan ibadah haji.
Sekitar tahun 1852-1858 sarana transportasi laut, terutama perusahaan kapal di Nusantara masih didominasi oleh kapal layar. Jumlah jama’ah yang diangkut rata-rata mencapai 2000 untuk menunaikan ibadah haji. Pada masa itu pelabuhan terakhir tempat bertolak adalah Aceh. Oleh karena itu Aceh dijuluki sebagai serambi Mekkah, karena tempat ini sebagai tempat persinggahan kapal yang hendak melakukan perjalanan ke Mekkah. Dalam perjalanan menuju kota Mekkah terdapat beberapa kapal yang berlayar penuh dengan jama’ah, tetapi tidak dilengkapi dengan fasilitas air dan pangan yang cukup. Sepanjang pelayaran, kapal singgah di pelabuhan-pelabuhan besar dan kecil, seperti pantai Malaya, India, Jibuti dan Arab untuk embarkasi sekaligus menambah perbekalan (Hurgronje, 1994: Majid, 2008).
Selama masa perjalanan tak jarang para jama’ah menghadapi berbagai rintangan pada saat mengarungi samudra. Tidaklah mengherankan jika waktu yang ditempuh cukup panjang sampai berbulan-bulan bahkan menghabiskan selama satu tahun. Hal ini mengingat teknologi kapal masih bergantung pada arah angin, sehingga waktu yang ditempuh tidak dapat dipastikan dengan jelih. Selain itu tidak jarang bagi para jama’ah banyak yang mengalami masa-masa sulit selama di perjalanan, seperti sakit, kehabisan bekal bahkan tak sedikit yang meninggal dunia. kondisi ini menyulitkan perjalanan dalam menunaikan ibadah haji.