Istilah buruh mempunyai beragam makna. Menurut KBBI Buruh diartikan sebagai orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah (KBBI, 06/2019). Buruh dalam hal ini adalah seseorang yang bekerja untuk seseorang demi mendapatkan upah dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Secara harfiah, buruh menurut kamus Jawa Kuna-Indonesia yaitu sebuah kata yang berasal dari bahasa Jawa, berarti orang yang bekerja dengan memperoleh bayaran (Yuliati, 2012).
Pada tahun 1954 pemerintah mengeluarkan peraturan tentang istilah buruh. Peraturan pemerintah yang menegaskan bahwa buruh adalah tenaga kerja pada perusahaan swasta, sedang tenaga kerja pada pemerintah disebut karyawan atau pegawai yang dibayar dengan Anggaran Belanja Negara, dan hubungan kerjanya bersifat publik (Yuliati, 2012). Peraturan pemerintah semakin menegaskan jika istilah buruh sudah bergeser pada seseorang yang bekerja pada sektor industri.
Dalam istilah buruh memiliki beragam pergeseran makna yang cukup dinamis dengan melihat konteks sosial, politik dan budaya. Pemakanaan buruh juga dilihat dari sebuah kondisi yang terjadi pada setiap jaman. Saat ini buruh telah dihadapkan dengan era digitalisasi yang serba online. Era ini merupakan sebuah titik di mana seseorang dapat bekerja melalui media sosial yang dinamakan sebagai jaman revolusi industri 4.0. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah seorang buruh meskipun dihadapkan pada era digital, mereka tetap bekerja pada sektor lapangan. Hal ini kemudian mengundang sejumlah perdebatan di kala dunia mengalami krisis akibat pandemi global.
Krisis ini telah mengakibatkan sejumlah efek negatif terutama dari sisi sektor ekonomi. Sejumlah industri mengalami kerugian yang diakibatkan oleh penyebaran covid-19. Ekspor barang dan juga impor tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Efeknya kemudian menjalar kepada sejumlah buruh yang bekerja pada sektor industri tersebut. Tidak sedikit kaum buruh mengalami pemberhentian sebagai akibat dari wabah yang mengguncang dunia dan mengakibatkan perekonomian di seluruh dunia menjadi lesu. Dilansir dari CNN Indonesia, Kementeri Ketenagakerjaan mencatat total pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan per 16 April 2020 mencapai 1.94 juta pekerja. Mayoritas masih berasal dari sektor formal. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menuturkan jumlah dari sektor formal yang terkena PHK dan dirumahkan mencapai 1.5 juta orang. Kemudian pada sektor informal jumlahnya mencapai 443 ribu pekerja (20/4/2020).
Kondisi demikian memberikan sebuah efek domino dari strata kelas menengah ke bawah yang umumnya bekerja di sektor industri. Mereka yang kehilangan pekerjaan sebagai efek dari pandemi global dan secara tidak langsung terancam masuk dalam jurang kemiskinan. Terlebih lagi bagi para buruh yang tidak mendapatkan uang pesangon sebagai imbas dari pemberhentian oleh pihak perusahaan. Hal ini kemudian semakin memperumit keadaan dan akhirnya menambah beban negara. Negara kembali harus menanggung beban kelas pekerja yang menjadi korban PHK dan tidak mendapatkan pesangon dari perusahaan. Semestinya pihak perusahaan juga memiliki peran aktif dalam menjamin kesejahteraan buruh yang bekerja di perusahaan mereka.

Perusahaan tidak mampu memberikan jaminan berupa kesejahteraan sosial dan cenderung bersikap eksploitasi. Pada dasarnya hubungan kerja seharusnya memiliki hubungan yang mengatur atau memuat hak dan kewajiban antara buruh dan pengusaha. Sejalan dengan prinsip kemitraan, besaran hak dan kewajiban ini harus seimbang. Hubungan kerja yang seimbang akan membuahkan lingkungan kerja yang harmonis, kondusif, dan dinamis. (Arif, 2015). Dalam urusan demikian pemerintah tidak semestinya dibiarkan berdiri sendiri untuk mengentaskan masalah krisis ekonomi akibat kasus pandemi. Sejatinya seluruh elemen bersama-sama berjibaku untuk mengatasi wabah tersebut, termasuk pihak perusahaan dan kelompok elit.
Selayaknya di saat demikian negara sebagai pelayan hadir dengan konsep sosialis yang mengedepankan kegotong-royongan secara bersama-sama dalam mengentaskan kemiskinan akibat wabah pandemi. Dalam pandangan sosialisme dari apa yang dikemukakan oleh Tjokroaminoto menyampaikan bahwa cara hidup menghendaki “satu buat semua dan semua buat satu”. Hal ini diartikan jika cara hidup yang baik selayaknya mempertunjukkan kepada kita agar tidak bersikap individualis. Akan tetapi mengutamakan tanggung jawab yang dipikul secara bersama-sama (Tjokroaminoto, 2010, 15). Negara hadir sebagai pelayan dan penengah, akan tetapi tanggung jawab sudah selayaknya diemban secara bersama-sama yang tidak hanya dibebankan oleh pemerintah, melainkan kepada kelompok pemilik modal dan juga kelompok elit.
Referensi
- HOS. Tjokroaminoto. 2010 Islam dan Sosialisme. Bandung: Sega Arsy.
- Nurrahman Sejati Arief “Peran Buruh dalam Kesejahteraan Sosial Perusahaan PT. Senang Kharisma Textile”. DILEMA, Vol. 30, No. 1 Tahun 2015.
- Yuliati, Dewi “Nasionalisme Buruh dalam Sejarah Indonesia”. Humanika. Vol. 16. No. 9. Juli. 2012.
- https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/dinamika diakses 23 Juni 2019.
- https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200420133902-92-495246/total-pekerja-kena-phk-dan-dirumahkan-194-juta-orang diakses 1 Mei 2020.